Baguih untuk menambahkan lagi kefahaman kita.
Sila tonton & baca sampai habis eekk...
************************************************************
Komen beberapa orang ustaz terhadap pandangan Dr.MAZA.
1) Menjelaskan sikap Syeikh Azhar dan Mufti Mesir terhadap Demontarsi di Mesir
Syeikh Azhar Ahmad Toyyib
Banyak dikalangan kita yang tidak menjaga lidah dan hatinya terhadap ulama-ulama islam yang telah berjuang untuk meninggikan islam, terlebih lagi pada saat ini, setelah terjadinya revolusi rakyat Mesir yang mengakibatkan Presiden Mesir Muhammad Husni Mubarok meletakkan jabatannya kepada Majlis Petinggi Tentera.
Sebahagian orang menuduh Syeikh Azhar Ahmad Toyyib dan Doktor Ali Jum`ah tidak pro terhadap demontrasi yang dilakukan oleh kumpulan pemuda-pemuda Mesir, mereka menganggap Syeih Ahmad Toyyib dan Syeikh Ali Jum`ah adalah ulama yang jahat dan penjilat pemerintah, mereka tidak mampu untuk bersangka baik terhadap ulama-ulama islam.
Mereka menganggap bahwa Syeikh Azhar berdiri bersama pemimpin yang zolim, mereka juga bertanya kenapa Azhar tidak berfatwa seperti Syeikh Yusuf Qardhawi tentang bolehnya revolusi, sebelumnya saya akan sebutkan sikaf dan fatwa Syeikh Ahmad Toyyib ketika terjadinya Demontrasi rakyat Mesir.
1 - Syeikh Ahmad Toyyib memperbolehkan Demontrasi dengan syarat aman, dan jauh dari kekerasan, sebab jika ada kekerasan maka akan dapat menimbulkan fitnah kepada umat islam sendiri.
2 - Ketika terjadi Demontrasi dengan kekerasan,(tanggal 28 - 1 - 2011 ) sehingga gedung-gedung pemerintahan di bakar, mobil-mobil polisi di bakar, sehingga jatuh korban dari pihak Pendemontrasi dan pihak kepolisian, kedai, toko-toko dan pusat perbelanjaan di rampas, di jarah dan di hancurkan maka turunlah seruan Syeikh Azhar agar para Pendemontrasi tidak menggunakan kekerasan, membakar, dan menjarah barang-barang dagangan.
3 - Ketika terjadi bentrokkan diantara pro Husni Mubarok dan Pro Demontrsi sehingga merenggut jiwa dari kedua belah pihak, maka Syeikh Azhar menghimbau agar pemuda-pemuda datang ke Masyaikhatul Azhar membicarakan jalan keluar yang terbaik untuk ummat sehingga tidak menelan korba jiwa dari kalangan umat islam, keresahan azhar sangat terlihat ketika kondisi Mesir menjadi kacau dan tidak aman, jadi menurut Syeikh Azhar jalan yang terbaik adalah duduk bersama berunding mencari jalan penyelesaian.
4 - Ketika banyaknya pendemo yang jatuh menjadi korban maka Syeikh Azhar mengeluarkan pernyatan bahwa orang yang meninggal ketika waktu berdemontrasi adalah gugur secara Syahid, sebagaimana yang di jelaskan oleh Duta besar Azhar dan juru bicaranya Rifa`ah Thahthawi di surat kabar mingguan Sautul Azhar 15 Rabi`ul Awwal 1432 H.
5 - Syeikh Azhar juga mengutus Doktor Hasan Syafi`i ke Medan Tahrir untuk menyampaikan seluruh perasaan hati Syeikh Azhar, tetapi disebabkan ramainya para pengunjuk rasa sehingga Doktor Hasan Syafi`i tidak mampu masuk ke Medan Tahrir, sehingga beliau turun bergabung dengan para Pendemontrasi di kawasan jalan Masbiru ( berhampiran dengan pusat televisi dan medan Tahrir -red).
6- Syeikh Azhar juga menegaskan bahwa Azhar berdiri bersama rakyat Mesir dan perubahan.
Di sini juga saya ingin menegaskan bahwa antara Syeikh Qardhawi dan Syeikh Ahmad Toyyib memiliki pandangan yang berbeda didalam menyelesaikan permasalahan yang berlaku di Mesir, dan ini suatu kewajaran bagi ulama islam yang memiliki keilmuan dan kekuatan untuk berijtihad, kedua-duanya menginginkan maslahah yang baik bagi umat islam, tetapi jalan pemikiran dan dasar-dasar dalil mereka memiliki perbedaan.
Perbedaan pendapat Syeikh Ahad Toyyib dengan Syeikh Qardhawi bukan berdasarkan kecintaan terhadap dunia, tetapi berdasarkan mana yang paling terbaik dari antara yang baik dan menjauhkan kemudratan yang lebih besar dari umat islam khususnya rakyat Mesir.
Di tegaskan oleh jugu bicara Azhar Rifa`ah Thahthawi bahwa Syeikh Azhar telah mengundang Syeikh Yusuf Qardhawi untuk mengadakan berbagai macam kegiatan di Mesir, yang selama ini ( sebelum diangkatnya Syeikh Ahmad toyyib menjadi Syeikh Azhar -red ) Syeikh Yusuf Qardhawi tidak boleh datang dan mengisi program ilmiyah di Mesir dan Azhar, tetapi Syeikh Ahmad Toyyib mmembuat perubahan dengan menerima Syeikh Qardhawi menjadi anggota dewan pusat penelitian islam ( Majma` Bu`uts Islami - red ) dan mengundangnya untuk menghadiri dan menyampaikan kajian ilmiyah di muktamar Ikatan graduan Azhar, pada tanggal 25 Januari 2011 Syeikh Qardhawi juga hadir dalam jemputan Syeikh Azhar, tetapi pihak keamanan dan kepolisian Mesir ingin menangkap Syeikh Yusuf Qardhawi, dengan lantang Syeikh Ahmad Toyyib berkata kepada kepolisian " Bila kamu tangkap Syeikh Yusuf Qardhawi maka saya akan melatakkan jabatan dari Syekh al-Azhar".
Beginilah sikap Syeikh al-Azhar terhadap Syeikh Yusuf Qardhawi, beliau sangat menghormati Syeikh Qardhawi.
Ada juga di kalangan ulama yang berpendapat bahwa perubahan itu di tuntut, berunjuk rasa itu perlu tetapi tidak dengan kekerasan, dan tidak boleh memberontak dan keluar dari pemimpin dan menuntutnya turun, tetapi bersabar sebagimana yang telah berlaku dengan ulama salafus Solihin. alasan mereka sebagai berikut :
1 - Didalam agama islam tidak ada ketentuan berapa tahun khalifah dan pemimpin menjabat kedudukkan, tidak di sebutkan didalam al-Qur`an dan al-Hadis tentang masa jabatan, sebab itulah Abu Bakar, Umar, Usman, Ali dan Mu`awiyyah menjabat kedudukkan khalifah sampai hayat mereka, dan hal ini telah berjalan terus sampai masa ke khalifahan Usmaniyah, bagaimana jika kita membuat kembali kekhalifahan islam, apakah kalifah sepanjang umur atau di tentukan waktunya, cobalah cari dalil qur`an dan sunnah tentang penetapan batas waktu jabatan pemimpin.
Lagi pula Mubarok telah menegaskan bahwa dia tidak akan mengikuti pemilhan umam lagi, dan masa jabatannya akan berakhir pada bulan september tahun 2011 ini, dengan begitu perlu bersabar sampai bulan september sehingga tidak menelan korban jiwa yang banyak.
Lagi pula Mubarok telah menegaskan bahwa dia tidak akan mengikuti pemilhan umam lagi, dan masa jabatannya akan berakhir pada bulan september tahun 2011 ini, dengan begitu perlu bersabar sampai bulan september sehingga tidak menelan korban jiwa yang banyak.
2 - Kezoliman Mubarok bukan berarti membolehkan kita untuk keluar dari kekuasaanya, sebab Rasul telah melarang hal yang demikian
، عن النبي صلى الله عليه وسلم ، قال : " من كره من أميره شيئا فليصبر ، فإنه من خرج من السلطان شبرا مات ميتة جاهلية " *
Artinya : "Barang siapa yang benci terhadap pemimpinnya maka hendaklah bersabar, maka sesungguhnya orang yang keluar dari pemimpinnya walupu satu jengkal maka dia mati seperti orang jahilyyah. HR Bukhari. 6665
3 - Hadis Rasulullah s.a.w :
Artinya : "Barang siapa yang benci terhadap pemimpinnya maka hendaklah bersabar, maka sesungguhnya orang yang keluar dari pemimpinnya walupu satu jengkal maka dia mati seperti orang jahilyyah. HR Bukhari. 6665
3 - Hadis Rasulullah s.a.w :
عن الزبير بن عدي ، قال : أتينا أنس بن مالك ،
tقشكونا إليه ما نلقى من الحجاج ، فقال : " اصبروا ، فإنه لا يأتي عليكم زمان إلا الذي بعده شر منه ، حتى تلقوا ربكم " سمعته من نبيكم صلى الله عليه وسلم
tقشكونا إليه ما نلقى من الحجاج ، فقال : " اصبروا ، فإنه لا يأتي عليكم زمان إلا الذي بعده شر منه ، حتى تلقوا ربكم " سمعته من نبيكم صلى الله عليه وسلم
ِArtinya : Berkata Zubair :Kami mendatangi Anas bin Malik,maka kami mengadu kepadanya dari kezoliman Hajaj yang menimpa kami, Maka berkata Anas : Sabarlah kamu semuanya, karena tidak akan datang masa kepada kamu kecuali yang setelahnya itu lebih buruk lagi darinya, sehingga kamu berjumpa tuhanmu , Aku telah mendengar hal ini dari Nabi kamu s.a.w.HR.Bukari no:6675.
4 - Hadis Rasulullah :
سأل سلمة بن يزيد الجعفي رسول الله صلى الله عليه وسلم فقال : يا نبي الله أريت إن قامت علينا أمراء يسألونا حقهم ويمنعون حقنا فما تأمرنا ؟ فأعرض عنه، ثم سأله فأعرض عنه، ثم سأله ثانية أو ثالثة، فجذبه الأشعث بن قيس ، وقال " اسمعوا وأطعوا فإنما عليهم ما حملوا وعليكم ما حملتم
Artinya : Salamah bin Yazid bertanya kepda Rasulullah s.a.w. beliau berkata : Wahai Nabi Allah ! Bagaimana pendapatMu jika yang memimpin kami meminta hak mereka kepada kami ( keta`atan ), dn tidak memberikan kepada kami hak-hak kami, Apa yang kamu suruh untuk kami perbuat?, maka Rasul berpaling darinya, kemudian dia ( Salamah-red ) bertanya pula, Rasulpun berpaling darinya, kemudian dia bertanya pula kali yang kedua atau yang ketiga, maka al-Asy`ats bin Qais menariknya, Bersabda Rasulullah :Dengarkan dan ta`atkan kamulah ( pemimpin-pemimpin kamu-red ) Sesungguhnya atas mereka tanggung jawab yang mereka bawa, dan diatas pundak kamu tanggung jawab yang kamu pikul. (HR Muslim no 1846 ).
cukup tiga hadis ini saja, sebab banyak lagi hadis-hadis yang lain yang melarang untuk keluar dari pemerintah, bahkan di perintahkan untuk bersabar.
Berkata Imam al-Hafizh Abu Ja`far Ahmad bin Muhammad at-Thohawi 321 hijriyah :
ولا نرى الخروج على أئمتنا وولاة أمورنا إن جاروا
Artinya : Kami tidak berpendapat untuk keluar dari keta`atan terhadap pemimpin-pemimpin kami dan yang memegang perkara kami walaupun mereka itu jahat.( Aqidah Tohawi )
Dari hadis seperti ini lah para shabat dan tabi`in bersabar dari kezoliman Hajaj as-Saqafi yang telah banyak membunuh dari para sahabat Rasul dan Tabi`in.
Demikian juga Imam Ahmad bin Hanbal dan para ulama-ulama besar yang di siksa ( didalam permaslahan al-Qur`an itu makhluk atau qadim ), mereka bersabar dengan pendapat mereka, tetapi mereka tidak mengajak umat untuk membrontak kekhalifahan Abbasiyyah dan tidak mengajak umat menjatuhkan khalifah.
Ini adalah sikap ulama-ulama salaf, kita tidak boleh kata mereka bodoh kerena tidak berusaha untuk mengobah keadaanm tetapi mereka sudah menasehati, jadi tindakkan terakhir bersabar atas kezoliman.
4 - Hadis Rasulullah :
سأل سلمة بن يزيد الجعفي رسول الله صلى الله عليه وسلم فقال : يا نبي الله أريت إن قامت علينا أمراء يسألونا حقهم ويمنعون حقنا فما تأمرنا ؟ فأعرض عنه، ثم سأله فأعرض عنه، ثم سأله ثانية أو ثالثة، فجذبه الأشعث بن قيس ، وقال " اسمعوا وأطعوا فإنما عليهم ما حملوا وعليكم ما حملتم
Artinya : Salamah bin Yazid bertanya kepda Rasulullah s.a.w. beliau berkata : Wahai Nabi Allah ! Bagaimana pendapatMu jika yang memimpin kami meminta hak mereka kepada kami ( keta`atan ), dn tidak memberikan kepada kami hak-hak kami, Apa yang kamu suruh untuk kami perbuat?, maka Rasul berpaling darinya, kemudian dia ( Salamah-red ) bertanya pula, Rasulpun berpaling darinya, kemudian dia bertanya pula kali yang kedua atau yang ketiga, maka al-Asy`ats bin Qais menariknya, Bersabda Rasulullah :Dengarkan dan ta`atkan kamulah ( pemimpin-pemimpin kamu-red ) Sesungguhnya atas mereka tanggung jawab yang mereka bawa, dan diatas pundak kamu tanggung jawab yang kamu pikul. (HR Muslim no 1846 ).
cukup tiga hadis ini saja, sebab banyak lagi hadis-hadis yang lain yang melarang untuk keluar dari pemerintah, bahkan di perintahkan untuk bersabar.
Berkata Imam al-Hafizh Abu Ja`far Ahmad bin Muhammad at-Thohawi 321 hijriyah :
ولا نرى الخروج على أئمتنا وولاة أمورنا إن جاروا
Artinya : Kami tidak berpendapat untuk keluar dari keta`atan terhadap pemimpin-pemimpin kami dan yang memegang perkara kami walaupun mereka itu jahat.( Aqidah Tohawi )
Dari hadis seperti ini lah para shabat dan tabi`in bersabar dari kezoliman Hajaj as-Saqafi yang telah banyak membunuh dari para sahabat Rasul dan Tabi`in.
Demikian juga Imam Ahmad bin Hanbal dan para ulama-ulama besar yang di siksa ( didalam permaslahan al-Qur`an itu makhluk atau qadim ), mereka bersabar dengan pendapat mereka, tetapi mereka tidak mengajak umat untuk membrontak kekhalifahan Abbasiyyah dan tidak mengajak umat menjatuhkan khalifah.
Ini adalah sikap ulama-ulama salaf, kita tidak boleh kata mereka bodoh kerena tidak berusaha untuk mengobah keadaanm tetapi mereka sudah menasehati, jadi tindakkan terakhir bersabar atas kezoliman.
Sebenarnya masih banyak lagi alasan ulama-ulama yang tidak membenarkan menjatuhkan pemimpin tanpa keputusan undang-undang tetapi kami padakan saja dalil mereka.
Kesimpulannya :
1 - Janganlah kita mudah berburuk sangka dan menghina apa yang telah di sampaikan oleh ulama-ulama kita, cobalah mengambil segi baiknya, sebab mereka berpendapat seperti itu karena memiliki alasan yang tertentu dan berdalilkan syari`at.
2 - Perjuangan rakyat Mesir belum habis, memerlukan kegigihan dan kesabaran untuk mencapai tujuan, membersihkan Mesir dari Raswah, korupsi , dan kejahatan, lihat Tunis sampai sekarang msih dalam keadaan tidak aman, kita juga perlu lihat Indonesia yang pernah berhasil menjatuhkan Suharto karena beliau suka korupsi dan zolim, tetapi setelah revolusi terjadi, Suharto jatuh dari kursinya, korupsi juga masih berjalan, roswah juga masih berlaku, kejahatan juga tidak pernah reda.
3 - Mesir bukan hanya memerlukan revolusi Presiden tetapi juga sangat memerlukan revolusi akhlak, yang mana akhlak pemudanya sekarang benar-benar rusak, ganja,obat-obat terlarang sudah menjadi teman bagi sebahagian pemuda, pencurian, penodongan dan pembunuhan juga banyak berlaku, membuang sampah di jalanan, kencing di sembarang tempat, tidak menjalankan tugas dengan benar dan ssterusnya, jika kita telah berhasil merubah presiden tetapi tak mampu merubah akhlak rakyat maka jangan heran jika akan datang presiden berikutnya yang suka Roswah dan korupsi, jangan heran jika kita ingin melaksanakan segala penyiapan surat menyurat mendapat kata-kata " Bukrah " ( Besok - red ).
Mufti Mesir Syeikh Ali Jum' ah
2) KHALWAT ADALAH MAKSIAT ZAHIR
Oleh: Dr Asmadi Mohamed Naim
Saya tertarik untuk memberi respon terhadap tulisan Dr Asri Zainul Abidin, Mufti Perlis dalam artikelnya bertajuk ‘Cegah maksiat zahir’ dalam Utusan Malaysia, hari Jumaat bertarikh 16 Februari 2007.
Saya secara umumnya bersetuju terhadap kebanyakan penghujahan yang dinyatakan oleh beliau. Cuma saya melihat ada tiga isu yang perlu dibezakan. Pertamanya, kesalahan zina sememangnya dipandang berat oleh Syariat Islam. Walaupun begitu, ulama-ulama Syariah secara umumnya berpegang bahawa kesalahan tidak boleh melalui kaedah tajassus. Bahkan sekiranya terdapat keraguan terhadap cara pembuktian, hukuman boleh diketepikan melalui kaedah ‘udru`u al-hudud bi syubuhat’ (ketepikan hukum hudud dengan adanya keraguan). Begitulah hebatnya Syariat Islam yang menganggap berat kesalahan zina, namun penghukumannya dilakukan dengan cukup teliti. Asas Syariah dalam mencari kesalahan zina ialah al-musahalah (melihat sebagai tidak berlaku) dan al-dar` (menepisnya) (Lihat Imam al-Nawawi dalam Syarh Sahih Muslim, 11/342).
Namun ketelitian Syarak pada cara mencari kesalahan zina, bukannya kerana zina adalah dosa manusia dengan tuhannya sebagaimana dinyatakan oleh Dr Asri. Zina bukannya hanya dosa berbentuk individu. Zina adalah satu musibah masyarakat. Individu penzina hilang maruahnya dan ibu bapa robek hatinya dan air mukanya. Bahkan jumhur ulama memandangnya sebagai pembunuhan maknawi. Masyarakat pula berdepan dengan masalah gejala sosial dan kelahiran anak-anak luar nikah. Tidak pernah ada ulama Salaf mahupun Khalaf yang mengatakan zina hanyalah kesalahan individu. Mencegah penzinaan adalah hak masyarakat (al-haq al-‘am). Walaupun begitu, taubat adalah tetap terbuka bersesuaian dengan keyakinan kita Allah SWT itu maha pengampun dan penyayang (Lihat Abd al-Qadir ‘Audah, 1/474 dan Abu Sunnah, 57).
Isu kedua ialah Dr Asri mengemukakan kisah Sayyidina Umar RA yang memanjat rumah sebagaimana dalam kitab Imam Ghazali, Ihya` Ulumiddin. Nukilan tersebut bersumberkan penerangan Imam Ghazali mengenai syarat ketiga untuk rukun kedua al-Hisbah iaitu ‘Hendaklah kemungkaran berbentuk zahir tanpa tajassus’. Saya berbesar hati kerana beliau masih menggunakan nukilan Imam Ghazali sebagai rujukan utama persoalan ini kerana adanya desas-desus beliau agak kurang mahu menggunakan hujah imam besar ini.
Walaupun begitu, saya melihat beliau sepatutnya menyatakan juga syarat pertama dalam rukun hisbah tersebut sebagaimana yang dinyatakan oleh Imam Ghazali dalam mukasurat sebelumnya iaitu: Syarat pertama untuk Hisbah ialah perbuatan tersebut mungkar (maksiat). Imam Ghazali mengatakan: Tidaklah Hisbah itu khusus untuk dosa-dosa besar, bahkan mendedahkan aurat di tempat mandian umum, berkhalwat (bersendirian) dengan wanita bukan mahram, dan berterusan memandang wanita yang bukan mahram, semuanya adalah dari dosa-dosa kecil, dan wajib melarangnya’ (Lihat al-Ihya`, 3/27).
Beliau juga sepatutnya menukilkan kata-kata Imam Ghazali secara penuh: ‘Maka ketahuilah, sesungguhnya sesiapa yang menutup pintunya, dan bersembunyi di sebalik dindingnya, maka tidak harus seseorang memasukinya tanpa izin hanya kerana ingin mengetahui perbuatan maksiat. Kecuali jika nyata sehingga diketahui oleh sesiapa yang berada di luar rumah tersebut, seumpama bunyi-bunyian serunai dan ghazal (seumpama gitar), sekiranya didengar melepasi dinding rumahnya. Sesiapa yang mendengar muzik tersebut (dari luar rumah), hendaklah dia memasukinya dan membinasakan alat hiburan tersebut’ (Lihat Kitab al-Ihya`, 3/28).
Kata-kata Imam Ghazali jelas menunjukkan bahawa sekiranya maksiat dalam rumah didengari dari luar, maka penguatkuasa boleh memasuki rumah tersebut. Dalam konteks masyarakat kita pada hari ini, apabila seorang staf hotel melihat seorang lelaki membawa pasangan bukan mahram memasuki bilik hotel, maka tanggungjawabnya membuat laporan sebagai melaksanakan tuntutan mencegah kemungkaran. Pegawai tersebut bukan mengintip, sebaliknya melaporkan perbuatan maksiat zahir iaitu pasangan bukan mahram menyewa dan memasuki bilik hotel (berkhalwat).
Demikian juga, sekiranya seorang bomoh dilaporkan melakukan perubatan dengan cara meraba pesakit contohnya, menjadi tanggungjawab penguatkuasa melakukan intipan dan melakukan tangkapan. Pada saya, kalau permasalahan ini dikemukakan kepada ulama Salaf dan Khalaf, pasti tiada siapa yang menolaknya. Berapa ramai masyarakat tertipu dengan bomoh-bomoh yang mengambil kesempatan!
Isu ketiga, saya tidak tahu atas asas apa Dr Asri berpegang: ‘Pihak pencegahan tidak boleh menggalakkan suasana suka mengadu keaiban sesama Muslim secara langsung atau tidak tanpa kesedaran sendiri melakukan Al-Amr bi al-Ma’ruf wa al-Nahy ‘An al-Munkar. Pemberian sagu hati kepada pemberi maklumat dalam maksiat peribadi ini hendaklah dihentikan’.
Kata Imam al-Nawawi berkaitan menutup aib (sitr al-‘aib): ‘Menutub aib (hadis yang menyuruh menutup aib) ialah menutup aib orang yang berkedudukan dan seumpamanya yang tidak dikenali sebagai pembuat kemusnahan dan kemungkaran. Manakala yang dikenali pembuat kemungkaran, maka sunat tidak ditutup aibnya, bahkan dilaporkan kesalahannya kepada pemerintah sekiranya perbuatan melapor tidak memudaratkan pelapor, semuanya ini pada penyembunyian maksiat samada berlaku dan telah selesai berlaku. Manakala maksiat yang dia melihatnya (sedang berlaku), dan dia berinteraksi dengannya, maka wajib bersegera membantah kemungkaran tersebut, dan mencegahnya bagi sesiapa yang mampu mencegahnya. Tidak boleh dia melambatkan (cegah kemungkaran). Sekiranya tidak mampu mencegah, wajib melaporkan kepada pemerintah sekiranya laporannya tidak membawa keburukan kepada pelapor’ (Lihat Imam al-Nawawi dalam Syarh Sahih Muslim, 16/104).
Oleh itu melaporkan perbuatan maksiat yang zahir di depan mata kita (contohnya melapor pasangan bukan mahram memasuki rumah) adalah termasuk mencegah kemungkaran. Kemungkarannya adalah berkhalwat tetapi bukan atas kesalahan zina. Kita tidak mempunyai kemampuan mengetahui samada pelapor berkenaan mempunyai kesedaran atau tidak, kerana kesedaran dan iman adalah persoalan hati. Benarkah pembayaran upah tidak digalakkan untuk mencegah kemungkaran? Kalau benar ia merupakan satu kesalahan, kenapa pemerintahan Islam lampau membahagikan pegawai penguat kuasa kepada muhtasib (berupah) dan mutawwi’ (sukarela)? Justeru, isu upah bukan isu yang besar dalam pencegahan kemungkaran.
Akhirnya, isu khalwat bukannya kerana seseorang itu konservatif atau liberal tetapi isu melaksanakan tuntutan al-Quran dan hadith. Saya tidak menafikan adanya kesilapan dalam operasi pencegahan apabila pintu-pintu bilik hotel diketuk secara rambang. Kesilapan sebegini wajib diperbetulkan supaya segala salah tanggap akan hilang. Namun, kesilapan tersebut bukan satu sebab untuk menghalang operasi pencegahan khalwat berdasarkan laporan masyarakat awam.
Wallahu a'lam
Saya tertarik untuk memberi respon terhadap tulisan Dr Asri Zainul Abidin, Mufti Perlis dalam artikelnya bertajuk ‘Cegah maksiat zahir’ dalam Utusan Malaysia, hari Jumaat bertarikh 16 Februari 2007.
Saya secara umumnya bersetuju terhadap kebanyakan penghujahan yang dinyatakan oleh beliau. Cuma saya melihat ada tiga isu yang perlu dibezakan. Pertamanya, kesalahan zina sememangnya dipandang berat oleh Syariat Islam. Walaupun begitu, ulama-ulama Syariah secara umumnya berpegang bahawa kesalahan tidak boleh melalui kaedah tajassus. Bahkan sekiranya terdapat keraguan terhadap cara pembuktian, hukuman boleh diketepikan melalui kaedah ‘udru`u al-hudud bi syubuhat’ (ketepikan hukum hudud dengan adanya keraguan). Begitulah hebatnya Syariat Islam yang menganggap berat kesalahan zina, namun penghukumannya dilakukan dengan cukup teliti. Asas Syariah dalam mencari kesalahan zina ialah al-musahalah (melihat sebagai tidak berlaku) dan al-dar` (menepisnya) (Lihat Imam al-Nawawi dalam Syarh Sahih Muslim, 11/342).
Namun ketelitian Syarak pada cara mencari kesalahan zina, bukannya kerana zina adalah dosa manusia dengan tuhannya sebagaimana dinyatakan oleh Dr Asri. Zina bukannya hanya dosa berbentuk individu. Zina adalah satu musibah masyarakat. Individu penzina hilang maruahnya dan ibu bapa robek hatinya dan air mukanya. Bahkan jumhur ulama memandangnya sebagai pembunuhan maknawi. Masyarakat pula berdepan dengan masalah gejala sosial dan kelahiran anak-anak luar nikah. Tidak pernah ada ulama Salaf mahupun Khalaf yang mengatakan zina hanyalah kesalahan individu. Mencegah penzinaan adalah hak masyarakat (al-haq al-‘am). Walaupun begitu, taubat adalah tetap terbuka bersesuaian dengan keyakinan kita Allah SWT itu maha pengampun dan penyayang (Lihat Abd al-Qadir ‘Audah, 1/474 dan Abu Sunnah, 57).
Isu kedua ialah Dr Asri mengemukakan kisah Sayyidina Umar RA yang memanjat rumah sebagaimana dalam kitab Imam Ghazali, Ihya` Ulumiddin. Nukilan tersebut bersumberkan penerangan Imam Ghazali mengenai syarat ketiga untuk rukun kedua al-Hisbah iaitu ‘Hendaklah kemungkaran berbentuk zahir tanpa tajassus’. Saya berbesar hati kerana beliau masih menggunakan nukilan Imam Ghazali sebagai rujukan utama persoalan ini kerana adanya desas-desus beliau agak kurang mahu menggunakan hujah imam besar ini.
Walaupun begitu, saya melihat beliau sepatutnya menyatakan juga syarat pertama dalam rukun hisbah tersebut sebagaimana yang dinyatakan oleh Imam Ghazali dalam mukasurat sebelumnya iaitu: Syarat pertama untuk Hisbah ialah perbuatan tersebut mungkar (maksiat). Imam Ghazali mengatakan: Tidaklah Hisbah itu khusus untuk dosa-dosa besar, bahkan mendedahkan aurat di tempat mandian umum, berkhalwat (bersendirian) dengan wanita bukan mahram, dan berterusan memandang wanita yang bukan mahram, semuanya adalah dari dosa-dosa kecil, dan wajib melarangnya’ (Lihat al-Ihya`, 3/27).
Beliau juga sepatutnya menukilkan kata-kata Imam Ghazali secara penuh: ‘Maka ketahuilah, sesungguhnya sesiapa yang menutup pintunya, dan bersembunyi di sebalik dindingnya, maka tidak harus seseorang memasukinya tanpa izin hanya kerana ingin mengetahui perbuatan maksiat. Kecuali jika nyata sehingga diketahui oleh sesiapa yang berada di luar rumah tersebut, seumpama bunyi-bunyian serunai dan ghazal (seumpama gitar), sekiranya didengar melepasi dinding rumahnya. Sesiapa yang mendengar muzik tersebut (dari luar rumah), hendaklah dia memasukinya dan membinasakan alat hiburan tersebut’ (Lihat Kitab al-Ihya`, 3/28).
Kata-kata Imam Ghazali jelas menunjukkan bahawa sekiranya maksiat dalam rumah didengari dari luar, maka penguatkuasa boleh memasuki rumah tersebut. Dalam konteks masyarakat kita pada hari ini, apabila seorang staf hotel melihat seorang lelaki membawa pasangan bukan mahram memasuki bilik hotel, maka tanggungjawabnya membuat laporan sebagai melaksanakan tuntutan mencegah kemungkaran. Pegawai tersebut bukan mengintip, sebaliknya melaporkan perbuatan maksiat zahir iaitu pasangan bukan mahram menyewa dan memasuki bilik hotel (berkhalwat).
Demikian juga, sekiranya seorang bomoh dilaporkan melakukan perubatan dengan cara meraba pesakit contohnya, menjadi tanggungjawab penguatkuasa melakukan intipan dan melakukan tangkapan. Pada saya, kalau permasalahan ini dikemukakan kepada ulama Salaf dan Khalaf, pasti tiada siapa yang menolaknya. Berapa ramai masyarakat tertipu dengan bomoh-bomoh yang mengambil kesempatan!
Isu ketiga, saya tidak tahu atas asas apa Dr Asri berpegang: ‘Pihak pencegahan tidak boleh menggalakkan suasana suka mengadu keaiban sesama Muslim secara langsung atau tidak tanpa kesedaran sendiri melakukan Al-Amr bi al-Ma’ruf wa al-Nahy ‘An al-Munkar. Pemberian sagu hati kepada pemberi maklumat dalam maksiat peribadi ini hendaklah dihentikan’.
Kata Imam al-Nawawi berkaitan menutup aib (sitr al-‘aib): ‘Menutub aib (hadis yang menyuruh menutup aib) ialah menutup aib orang yang berkedudukan dan seumpamanya yang tidak dikenali sebagai pembuat kemusnahan dan kemungkaran. Manakala yang dikenali pembuat kemungkaran, maka sunat tidak ditutup aibnya, bahkan dilaporkan kesalahannya kepada pemerintah sekiranya perbuatan melapor tidak memudaratkan pelapor, semuanya ini pada penyembunyian maksiat samada berlaku dan telah selesai berlaku. Manakala maksiat yang dia melihatnya (sedang berlaku), dan dia berinteraksi dengannya, maka wajib bersegera membantah kemungkaran tersebut, dan mencegahnya bagi sesiapa yang mampu mencegahnya. Tidak boleh dia melambatkan (cegah kemungkaran). Sekiranya tidak mampu mencegah, wajib melaporkan kepada pemerintah sekiranya laporannya tidak membawa keburukan kepada pelapor’ (Lihat Imam al-Nawawi dalam Syarh Sahih Muslim, 16/104).
Oleh itu melaporkan perbuatan maksiat yang zahir di depan mata kita (contohnya melapor pasangan bukan mahram memasuki rumah) adalah termasuk mencegah kemungkaran. Kemungkarannya adalah berkhalwat tetapi bukan atas kesalahan zina. Kita tidak mempunyai kemampuan mengetahui samada pelapor berkenaan mempunyai kesedaran atau tidak, kerana kesedaran dan iman adalah persoalan hati. Benarkah pembayaran upah tidak digalakkan untuk mencegah kemungkaran? Kalau benar ia merupakan satu kesalahan, kenapa pemerintahan Islam lampau membahagikan pegawai penguat kuasa kepada muhtasib (berupah) dan mutawwi’ (sukarela)? Justeru, isu upah bukan isu yang besar dalam pencegahan kemungkaran.
Akhirnya, isu khalwat bukannya kerana seseorang itu konservatif atau liberal tetapi isu melaksanakan tuntutan al-Quran dan hadith. Saya tidak menafikan adanya kesilapan dalam operasi pencegahan apabila pintu-pintu bilik hotel diketuk secara rambang. Kesilapan sebegini wajib diperbetulkan supaya segala salah tanggap akan hilang. Namun, kesilapan tersebut bukan satu sebab untuk menghalang operasi pencegahan khalwat berdasarkan laporan masyarakat awam.
Wallahu a'lam
Tiada ulasan:
Catat Ulasan